tafsir surah At-Taubah 94-99

A.    Pendahuluan
Allah Swt menurunkan Al-Quran kepada baginda nabi Muhammad Saw dengan cara berangsur-ansur. Al-Quran diturunkan sebagai pembeda antara yang hak dan yang batil, dan juga sebagai penyempurna bagi kitab-kitab yang sebelumnya, sekaligus sebagai petunjuk bagi ummat Muhammad Saw.
Maka dari itu seharusnya bagi setiap muslim mempelajari dan memahaminya dengan baik dan benar, karena Al-quran merupakan petunjuk bagi ummat Muslim. Sehingga hidupnya lebih tertata dengan baik sesuai dengan yang Allah Swt ridha’i
Salah satu cara dapat memahami Al-quran yaitu dengan cara mengetahui tafsirannya dari ulama’-ulama’ Tafsir. Maka dari itu ummat Muslim seharusnya memberi perhatian penuh dalam mengkaji dan memahami Tafsir Al-Quran.

B.     Pembahasan Tafsir
يَعْتَذِرُونَ إِلَيْكُمْ إِذَا رَجَعْتُمْ إِلَيْهِمْ قُلْ لَا تَعْتَذِرُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكُمْ قَدْ نَبَّأَنَا اللَّهُ مِنْ أَخْبَارِكُمْ وَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (94)
“Mereka (orang-orang munafik yang tidak ikut berperang) akan mengemukakan alasannya kepadamu ketika kamu telah kembali kepada mereka. Katakanlah (Muhammad), “ Janganlah kamu mengemukakan alasan, kami tidak percaya lagi kepadamu, sungguh, Allah Swt telah memberitahukan kepada kami tentang beritamu. Dan Allah Swt akan melihat pekerjaanmu, (demikian pula) Rasul-Nya, kemudian kamu dikembalikan kepada (Allah) yang Maha mengetahui segala yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. At-Taubah: 94)
Orang-orang munafik memohon udzur dengan alasan-alasan yang mereka ungkapkan kepada rasul dan umat islam yang akan mengikuti perang tabuk. Dan setelah umat islam kembali dari peperangan mereka mendatangi nabi Muhammad Saw dan umat islam untuk menyampaikan lagi alasan-alasan mereka tidak mengikuti perang. Mereka datang kembali kepada nabi Muhammad Saw untuk membela diri mereka. Sesungguhnya dalam hati kecil mereka menyadari akan ketidak kuatan alasan mereka yang pertama dalam mengelak dari mengikuti peperangan, maka dari itu mereka datang untuk yang kedua kalinya untuk memohon udzur lagi[1].
Kemudian datangalah perintah Allah Swt kepada Rasul-Nya: Katakanlah (Muhammad), “ Janganlah kamu mengemukakan alasan, kami tidak percaya lagi kepadamu, sungguh, Allah Swt telah memberitahukan kepada kami tentang beritamu. Walaupun beribu-ribu alasan dari mereka maka sesungguhnya nabi Muhammad Saw dan umat islam tidak akan percaya lagi kepada mereka. Mereka mencari-cari alasan dengan kebohongan mereka, padahal mereka pengecut, malas dan karena lemahnya pengorbanan mereka.
Jika di dalam hati mereka masih terdapat sedikit iman, maka masih ada harapan bagi mereka untuk mengubah anggapan terhadap diri mereka dengan perbuatan baik untuk menebus kesalahan mereka. Dan Allah Swt akan melihat pekerjaanmu, (demikian pula) Rasul-Nya,  Menurut Prof. Dr. Hamka dalam kitabnya kalau mereka datang yang kedua kalinya menyatakan udzur dan meminta maaf benar-benar timbul dari hati yang ikhlas dan taubat maka amal mereka sendiri yang akan menjadi bukti jika mereka bertaubat dengan penuh keikhlasan dan juga disertai dengan amal yang shalih, maka Allah dan Rasul-Nya akan melihat amal-amal baik mereka. Dalam tafsir Al-Misbah ialah Allah akan melihat amalmu apakah bertaubat atau masih dalam kedurhakaan dan Rasul Saw akan mengetahuinya juga melalui pemberitaan Allah Swt[2]. Sedangkan dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir maksudnya adalah Allah akan memperlihatkan amal kalian—orang-orang Munafik—kepada seluruh Manusia di dunia[3]. Kemudian kamu dikembalikan kepada (Allah) yang Maha mengetahui segala yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

سَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَكُمْ إِذَا انْقَلَبْتُمْ إِلَيْهِمْ لِتُعْرِضُوا عَنْهُمْ فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ إِنَّهُمْ رِجْسٌ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (95)
“Mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, ketika kamu  kembali kepada mereka, agar kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu berjiwa kotor dan tempat mereka neraka Jahannam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. At-Taubah: 95)
Setelah pulangnya kaum muslimin dari perang Tabuk dibawah pimpinan Rasul Saw, mereka orang-orang Munafik datang bersumpah-sumpah walaupun mereka belum ditanyai sesuatupun[4].
Sesungguhnya di dalam hati mereka menyadari dalam dirinya bahwa orang-orang tidak ada yang percaya lagi kepada mereka. Maka dari itu mereka menggunakan alasan-alasan mereka dengan diiringi oleh sumpah-sumpah.
Tujuan mereka melakukan sumpah adalah , agar kamu berpaling dari mereka. Yakni agar kaum Muslimin tidak menyalahkan mereka dan tidak mengecam lagi. Maka dari itu meraka melakukan sumpah-sumpah[5]. Maka Allah berfirman: Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu berjiwa kotor dan tempat mereka neraka Jahannam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Yakni agar kaum Muslimin tidak menghiraukan mereka kembali dan berpaling dari mereka, buanglah muka sebagaimana seseorang yang benci, marah dan tidak peduli lagi. Karena mereka telah kotor dan najis dalam batin dan keyakinan mereka[6]. Dan tidak cukup bagi mereka hanya dikecam di dunia saja, mereka juga akan ditempatkan di nereka Jahannam kelak, karena kebohongan dan kedurhakaan mereka di dunia.
يَحْلِفُونَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنْ تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَرْضَى عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ (96)
“Mereka akan bersumpah kepadamu agar kamu bersedia menerima mereka. Tetapi sekalipun kamu menerima mereka, Allah tidak akan ridha kepada orang-orang yang fasik.” (Qs. At-Taubah: 96)
Dalam ayat ini menunjukkan bahwasanya mereka ingin mengambil hati kaum muslimin, inilah yang biasa dikatakan “pengambil muka”. Bersumpah-sumpah demi membela diri mereka demi mengahrapkan hati kaum Muslimin. Maka berhati-hatilah dengan mereka jangan sampai kaum muslimin terpengaruh akan kata-kata mereka yang manis, padahal omongan mereka berisi kebohongan.
Allah tidak akan ridha kepada orang-orang yang fasik. Ayat ini menerangkan penyebab ketidak sukaan Allah Swt kepada mereka yakni dikarenakan kefasikan meraka. Mereka dengan sengaja melanggar perintah Allah Swt. Sesuatu yang diperintahkan mereka abaikan dan sesuatu yang dilarang mereka lakukan[7].
Dalam kedua ayat ini yakni ayat 95-96 Al-Biqa’i memahami bahwa ada dua kelompok  kaum Munafikin. Ada kaum Munafikin yang bersumpah karena Cuma mengaharap agar tidak dikecam dan adalagi kelompok kaum munafikin yang ingin mendapatkan lebih dari itu yaitu mereka ingin mendapatkan tempat di hati kaum Muslimin.
Akan tetapi menurut pendapat Quraish Shihab ayat ini berbicara tentang satu keompok saja namun berbeda dalam situasinya[8]. Yakni setelah mereka terbukti melakukan kesalahan mereka berusaha untuk menghindar dan setelah orang-orang melupakan tentang perilaku mereka dan situasi telah reda, mereka mulai berusaha mendapatkan tempat di hati kaum Muslimin.

الْأَعْرَابُ أَشَدُّ كُفْرًا وَنِفَاقًا وَأَجْدَرُ أَلَّا يَعْلَمُوا حُدُودَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (97)
“Orang-orang Badui lebih keras kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui batas-batas yang diturunkan Allah Swt kepada Rasul-Nya. Dan Allah Swt Maha Mengetahu lagi Maha Bijaksana.” (Qs. At-Taubah: 97)
Orang-orang Badui adalah orang yang tinggal di pedalaman desa dan hidup dengan cara menggembala dan bertani. Hidup dalam kebiasaan berterus terang dan berpegang teguh pada adat istiadat mereka, sehingga sulit untuk mengubah kebiasaan mereka[9].
Dalam ayat diatas menjelaskan bahwasanya orang Badui itu amat keras bahkan lebih keras kekufuran mereka dan lebih munafik dari pada orang-orang yang tinggal di perkotaan. Akan tetapi mereka jauh lebih pantas dari pada orang-orang yang tinggal di kota karena kurangnya informasi mengenai islam yang disebabkan jauhnya tempat tinggal mereka dan minimnya bertemu dengan nabi Muhammad Saw[10].
Dalam menghadapi mereka janganlah heran akan kekufuran dan kemunafikan mereka yang melebihi penduduk kota, karena mereka terbiasa hidup tanpa adanya peraturan. Maka janganlah menghadapi mereka dengan kekasaran, melainkan tuntunlah mereka dengen kelembutan dan penuh kasih sayang

وَمِنَ الْأَعْرَابِ مَنْ يَتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ مَغْرَمًا وَيَتَرَبَّصُ بِكُمُ الدَّوَائِرَ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (98)
“Di antara orang-orang Badui itu ada yang menjadikan apa yang dia nafkahkan sebagai suatu kerugian, dan dia menanti-nanti marabahaya menimpa kamu. Merekalah yang ditimpa marabahaya. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (Qs. At-Taubah: 98)
Sebagian orang-orang Badui menafkahkan harta bendanya di jalan Allah Swt dengan penuh keterpaksaan. Sebagaimna sifat mereka yang tidak ingin diatur, mereka ingin hidup bebas tanpa aturan, mereka tidak ingin adanya kekuasaan yang mengusai mereka. Maka jika datang perintah untuk menginfakkan harta benda mereka di jalan Allah, mereka mengeluarkannya bukan berdasarkan atas keikhlasan dan keridhaan Allah Swt. Akan tetapi mereka anggap sebagai upeti atau denda yang mereka harus bayar dengan penuh beban, dikarenakan mereka tidak percaya akan adanya ganjaran dari Allah Swt bagi setiap nafkah atau infak yang tulus[11]. Inilah penyebab orang-orang Munafik enggan membayar zakat paska meninggalnya Rasul Saw.
Maka dari itu mereka menantikan malapetaka dan kehancuran pada ummat islam sebagaimana firman Allah Swt dan dia menanti-nanti marabahaya menimpa kamu. Mereka mengharapkan agar umat muslim berada di posisi bawah yakni kelemahan. Akan tetapi pada lanjutan ayat ini Merekalah yang ditimpa marabahaya. Maksudnya mereka sendirilah yang akan mendapatkan malapetaka dan kehancuran[12]. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Mendengar dan mengetahui segala keburukan yang ada pada mereka, termasuk niat-niat buruk mereka.

وَمِنَ الْأَعْرَابِ مَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ قُرُبَاتٍ عِنْدَ اللَّهِ وَصَلَوَاتِ الرَّسُولِ أَلَا إِنَّهَا قُرْبَةٌ لَهُمْ سَيُدْخِلُهُمُ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (99)
“Dan di antara orang-orang Badui, ada yang beriman kepada Allah Swt dan hari kemudian, dan menjadikan ada apa yang dia nafkahkan sebagai sarana pendekatan kepada Allah dan sebagai jalan untuk (memperoleh) doa Rasul. Ketahuilah, sesungguhnya infak itu suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Kelak Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat (surga)-Nya. Sesungguhnya Allah Swt Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (Qs. At-Taubah: 99)
Dalam ayat sebelumnya menjelaskan tentang orang-orang Badui yang tidak taat kepada Allah. Akan tetapi tidak semua dari mereka yang tidak taat. Dan juga tidak semua dari mereka menganggap infak sebagai denda. Di antara mereka juga ada yang beriman kepada Allah dengan penuh ketulusan. Mereka beriman kepada Allah Swt, maka dari itu mereka pun mempercayai Rasu Saw dan juga Wahyu yang diturunkan kepadanya, walaupun mereka mendengar ajaran Rasul hanya sesekali saja, akan tetapi mereka pegang kuat dan mereka yakini secara benar[13].
Mereka mau mengeluarkan harta benda mereka dengan penuh ketulusan dan keikhlasan karena iman yang kuat yang terdapat pada diri mereka. Pengorbanan mereka dalam mengeluarkan harta benda, mereka anggap sebagai cara medekatkan diri kepada yang Maha Kuasa dan juga demi mengharap keridha’an Allah Swt. Selain mengharapkan ridha Allah Swt, mereka juga mengharap doa dari nabi Muhammad Saw yakni semoga mereka yang tinggal jauh dari kota mendapatkan doa dari Rasulullah Saw agar Allah Swt meneriman segala amal mereka.
Mujahid dalam penafsiran ayat ini yaitu Badui yang beriman ini adalah Bani Muqrin dan keturunan Muzainah. Sedangkan menurut Al-Kalbi ialah Bani Aslam, Bani Ghiffar, Juhainah dan Muzainah.
Kata (أَلَا) digunakan untuk meminta perhatian pendengar. Maka dari itu kata ini diterjemahkan dengan “ketahuilah”. Dan juga terdapat kata sesungguhnya dalam ayat ini untuk mengisyaratkan apa yang mereka harapkan akan benar-benar terlaksana[14]. Dan Allah akan memasukkan mereka ke dalam Rahmat-Nya yakni surga-Nya kelak Sesungguhnya Allah Swt Maha Pengampun, atas segala kesalahan siapa saja yang mau bertaubat dan menyesali perbuatannya dan Allah Swt lagi Maha Penyayang.
















C.    Penutup
Orang-orang Munafik adalah orang-orang yang dibenci oleh Allah Swt. Karena mereka selalu berbohong dan mencari-cari alasan untuk mendapatkan simpatisan dari orang lain dengan cara bersumpah-sumpah, seolah-olah mereka tidak melakukan kesalahan.
Orang-orang Badui adalah orang-orang yang tinggal jauh dari perkotaan, tidak terbiasa dengan peraturan maka dari itu mereka termasuk orang yang palin munafik dan juga paling wajar karena mereka jarang mendapatkan informasi mengenai hukum-hukum dan keterangan-keterangan dari nabi Muhammad Saw
Sebagian dari mereka menganggap membayar zakat dan berinfak sebagai tuntutan yang tidak ada balasannya. Mereka melakukan hal itu tanpa didasari oleh ketulusan. Dan mereka anggap seperti denda.
Tidak semua dari mereka munafik dan kufur. Diantara mereka juga ada yang benar-benar beriman kepada Allah Swt dan menganggap segala amal baik mereka sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah Swt.




Daftar Pustaka
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta, Lentera Hati, 2009)
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura, Kerjaya printing industries, 2003)
Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir, Terj. M Abdul Ghaffar (Bogor, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2003)




[1] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura, Kerjaya printing industries, 2003) hal. 3088, jilid. 4
[2] Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta, Lentera Hati, 2009) hal. 208, jilid. 5
[3] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Terj. M Abdul Ghaffar (Bogor, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2003) hal 191, jilid. 4
[4] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura, Kerjaya printing industries, 2003) hal. 3089, jilid. 4
[5] Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta, Lentera Hati, 2009) hal. 211, jilid. 5
[6] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Terj. M Abdul Ghaffar (Bogor, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2003) hal 191, jilid. 4
[7] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura, Kerjaya printing industries, 2003) hal. 3090, jilid. 4
[8] Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta, Lentera Hati, 2009) hal. 212, jilid. 5
[9] Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta, Lentera Hati, 2009) hal. 215, jilid. 5
[10] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura, Kerjaya printing industries, 2003) hal. 3092, jilid. 4
[11] Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta, Lentera Hati, 2009) hal. 217, jilid. 5
[12] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Terj. M Abdul Ghaffar (Bogor, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2003) hal 193, jilid. 4
[13] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura, Kerjaya printing industries, 2003) hal. 3094, jilid. 4
[14] Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta, Lentera Hati, 2009) hal. 219, jilid. 5

Komentar

Postingan Populer