Tafsir Ayat-Ayat Puasa

Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Puasa merupakan salah satu rukun islam yang wajib dikerjakan oleh orang-orang islam. Oleh karenanya penting kiranya untuk dikaji lebih dalam, bukan hanya sekedar menjalankannya saja, melainkan mengetahui keterangan lebih lanjut, khususnya keterangan-keterangan tentang ayat-ayat yang berkaitan tentang kewajiban berpuasa.
Mungkin saja sebagian dari kita sudah tahu perintah dari wajibnya berpuasa, akan tetapi masih banyak dari kita yang masih belum mengetahui keterangan langsung dari ayat-ayat oleh para mufasir. Yang notabennya ada segi-segi tertentu yang kadangkala menimbulkan kontrofersi dikalangan mufasir.
Disinilah pentingnya pembahasan materi tafsir maudhu’i ibadah yang berhubungan dengan puasa. Yang mana didalamnya akan mengkaji tafsir dari ayat-ayat yang berkaitan langsung dengan puasa, didukung lagi adanya penyuguhan beberapa pendapat para mufasir diketerang-keterangan tertentu.














 Pembahasan

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183)  أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (184) شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185)
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (yaitu) dalam beberapa hari tertentu, maka barang siapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya  berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itupada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. “(Baberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang haq dan yang batil). Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah bagi berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-NYA yang diberikan kepada kamu supaya kamu bersyukur.” (Al-Baqarah: 183-185)




Mufradat
كُتِبَ :Diwajibkan                                                        تَتَّقُونَ  :kalian bertaqwa
يُطِيقُونَهُ  :mereka berat menjalankannya                       الْعُسْرَ  :sukar
تَطَوَّعَ  :melakukan secara suka rela                              تَشْكُرُونَ  :kalian bersyukur
الْيُسْرَ  :mudah

AsbabunNuzul
1. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal r.a, bahwa ia berkata :Sesungguhnya Rasulullah Saw tiba di Madinah lalu berpuasa ‘Asyura dan tiga hari setiap bulan, kemudian Allah Swt mewajibkan puasa Ramadhan, maka turunlah ayat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

2.
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa’id bin Jubair bahwasanya ayat ini diturunkan berkenaan dengan dengan maula Qais bin Assa’ib yang memaksakan dirinya melakukan puasa padahal dirinya sudah tua[1], maka dengan turunnya ayat ini, ia membatalkan puasanya dan membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin selama ia tidak berpuasa.
3.   Diriwayatkan dari Salmah bin Akwa’ bahwa ketika turun ayat dan wajib bagi mereka yang berat menjalankan puasa membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin, maka siapa yang suka diantara kita berpuasa dan siapa yang suka berbuka dan membayar fidyah sebagai gantinya, sehingga turunlah ayat berikutnya
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Pengertian Puasa
Shaum secara Bahasa mempunyai arti menahan sedangkan secara terminologi yaitu menahan dari sesuatu yang membatalkan puasa dengan niat khusus sepanjang siang hari yang merupakan waktu berpuasa, bagi seorang muslim yang berakal, suci dari haid dan nifas[2]. Di dalam kitab Al-Iqna’ ialah menahan dari segala yang membatalkan puasa dengan cara yang khusus dan disertai niat[3].
Puasa bulan ramadhan adalah bentuk pilar islam yang diwajibkan bagi ummat nabi Muhammad Saw. Dimana penamaannya, bulan Ramadhan ini dikarenakan penyesuaiannya masa berlangsungnya bulan tersebut. Pada saat itu, bertepatan dengan hari-hari terik musim panas, sesuai dengan akar katanya “Ramdh” yang artinya “membakar” dikarenakan panasnya matahari yang luar biasa menyinari pasir-pasir gurun.
Pada awal sejarah islam, orang-orang saleh menyebutkan bulan ramadhan dengan sebutan Al-Midmar artinya bahwa pada bulan itu dapat menguruskan jiwa dan tubuh manusia serta membantu manusia terbebas dari perihal kejahatan dan dosa yang membebani jiwa dan tubuh manusia.[4] Selain itu, manfaat dari adanya puasa lalu dikombinasikan dengan salat dan berkhalwat maka dapat menjadi obat bagi penyakit-penyakit psikologi dan spiritual yang diderita.


Munasabah
Ayat-ayat sebelumnya membahas tentang hukum qishash dan wasiat sebagai kebaikan sosial dalam sebuah masyarakat dan keluarga, sedangkan ayat selanjutnya yaitu ayat 183 menjelaskan tentang hukum puasa, dimana hukum puasa ini dapat mensucikan jiwa dan pengekangan hawa nafsu sehingga dengan ini bisa mengantarkan manusia menjadi orang yang bertaqwa. Dan dengan ketaqwaan ini akan terhindar dari perbuatan keji seperti membunuh (yang akhirnya diqishash) dan terhindar dari ketidakamanahan dalam wasiat.
Tafsir
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183)
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”
Allah Ta’ala berfirman pada ayat di atas guna menyuruh umat ini berpuasa. Menurut Muhammad Ali As-shabuni dalam tafsirnya sofwatu tafasir: secara bahasa puasa adalah menahan sesuatu. Sedangkan secara istilah ialah menahan diri dari makan, minum, jima’ di siang hari dengan dilandasi niat.[5]
Ayat ini dimulai dengan suatu pengantar yang mengundang setiap mukmin untuk sadar akan perlunya melaksanakan ajakan itu. Ia dimulai dengan panggilan mesra, wahai orang-orang yaang beriman. Kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan kewajibaan melaksanakan amal  tanpa menunjukkan siapa yang mewajibkannya, Diwajibkan atas kamu. Redaksi ini mengisyaratkan akan pentingnya perintah tersebut. Yang  diwajibkan adalah ash-shiyam yakni puasa (menahan diri). Dan menahan diri dibutuhkan oleh setiap orang baik yang kaya atau miskin, muda atau tua, lelaki atau perempuan. Sebagaimana telah diwajibkan pula atas umat-umat terdahulu sebelum kamu.[6]
Perintah ini tentunya berdampak positif bagi kita dalam menyucikan badan dan mempersempit gerakan setan, sebagaimana hal ini dikemukakan dalam shahihain (194),
«يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء») رواه البخاري ومسلم(.
Wahai para pemuda, barang siapa diantara kamu sudah mampu memikul beban keluarga, maka kawinlah, dan barang siapa yang belum mampu maka berpuasalah karena itu merupakan benteng baginya.” (HR Bukhari Muslim). Pada permulaan islam, puasa dilakukan tiga hari pada setiap bulan. Kemudian pelaksanaan itu dinasakh oleh puasa dibulan ramadhan. Dari Muadz, Ibnu Mas’ud, dan yang lainnya dikatakan bahwa puasa ini senantiasa disyariatkan sejak zaman nabi Nuh hingga Allah menasakh ketentuan itu dengan puasa ramadhan.[7] Kewajiban tersebut dimaksudkan agar kamu bertaqwa, yakni. Terhindar dari segala sanksi dan dampak buruk, baik duniawi maupun ukhrawi. Muhmmad Ali as-Shabuni berkata: supaya menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah dan menjauhi semua yang dilarangnya.

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (184)
(yaitu) dalam beberapa hari tertentu, maka barang siapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya  berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itupada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Kata أَيَّامًا  dapat dipahami dengan artian; hari-hari yang menunjukkan waktu bersamaan sedangkan kata  مَعْدُودَاتٍyang berarti terhitung jumlahnya bahwa hari-hari puasa itu diketahuai[8]. Sedangkan menurut Muhammad Ali As-shabuni, pada kata itu mengandung pengertian bulan Ramadhan[9]. Dengan ini, ketika seseorang tidak bisa berpuasa dibulan Ramadhan, entah karena ada alasan sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka)[10] maka iddahnya harus berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya pada hari-hari yang lain[11], ini merupakan bentuk kelonggaran dalam berpuasa yang mungkin saja kita ada dalam posisi itu, ada juga orang yang merasa berat berpuasa dikarenakan sudah lanjut usia lalu dia berbuka puasa, maka fidyahnya memberi makan orang-orang miskin setiap harinya (setiap dia tidak berpuasa)[12]. Sesuai dengan hadits:
حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عَزْرَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} [البقرة: 184]، قَالَ: «كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ، وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ، وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا، وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مسْكِينًا، وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا»، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: «يَعْنِي عَلَى أَوْلَادِهِمَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا»[13]
Dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman Allah (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin,” beliau mengatakan, “Ayat ini menunjukkan keringanan bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua renta dan mereka merasa berat berpuasa, mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa, namun mereka diharuskan untuk memberi makan setiap hari satu orang miskin sebagai ganti tidak berpuasa. Hal ini juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir –Abu Daud mengatakan: khawatir pada keselamatan anaknya-, mereka dibolehkan tidak berpuasa, namun keduanya tetap memberi makan (kepada orang miskin).
Sedangkan bagi siapa saja melakukan kebajikan (تَطَوَّعَ)[14] maka itu jauh lebih baik. Apalagi berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Menurut ar-Razi ayat ini ada dua kategori; pertama, khithab ini berlaku atau ditujukan hanya untuk orang-orang yang merasa berat menjalankannya saja (يُطِيقُونَهُ), kedua, berpuasa itu lebih baik dilakukan oleh orang-orang yang disebutkan didepan tadi, seperti orang sakit, musafir, dan orang yang berat menjalankan puasa. Dan yang kedua ini yang lebih utama mengingat lafadnya bersifat umum. Ketiga, menjadi ‘athaf dari ayat yang pertama, yaitu وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ. Pandangan ini terlihat berbeda, namun pada intinya kalau kita tidak punya halangan lebih baik berpuasa, apalagi di bulan suci Ramadhan, karena bulan ini adalah bulan yang penuh keberkahan, ampunan dan dilipatkannya sebuah pahala amal kebaikan. berikut penjelasan tafsir tentang ayat bulan Ramadhan.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185)
“(Baberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang haq dan yang batil). Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah bagi berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-NYA yang diberikan kepada kamu supaya kamu bersyukur.”
Pada ayat ini, Allah menyinggung turunnya Al-Qur’an yaitu turun pada bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya terdapat banyak Rahmat serta ampunan dari Allah. Pada bulan inilah awal turunnya Al-Qur’an yang keberadaannya dapat menjadi hidayah (petunjuk) bagi manusia, sekaligus pembeda antara yang hak dan yang batil. Oleh karenannya, barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,
Ayat di atas memberikan titik tekan bahwa adanya pernyataan yang menyuruh umat Nabi Muhammad Saw. agar berpuasa di bulan Ramadhan[15] disaat mengetahui adanya hilal, entah melihat sendiri atau dapat kabar dari orang-orang yang terpercaya (bersumpahnya orang yang melihat[16] atau kesepakatan ulama’), Tentunya tidak melakukan perjalanan jauh (bermukim di tempat tinggalnya) dan tidak sakit (benar-benar sehat).[17] Namun ada rukhsah bagi  siapa saja yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah bagi berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Disinah keindahan islam tidak menuntut untuk dilakukan suatu amalan puasa (khususnya bulan ramadhan) bagi yang berhalangan. Islam cendrung mempermudah bukan justru mempersusah atau memberatkan manusia untuk beribadah. Tapi bukan berarti kita santai-santai yang dikit-dikit tidak berpuasa lantaran males atau sakit yang dibuat-buat.
Dalam kontek saat kita dalam perjalanan sebenarnya ada perdebatan tentang manakah yang lebih utama, apakah berbuka atau justru tetap berpuasa. Pertama, lebih baik berbuka melihat dari peristiwa nabi Muhammad pada saat pergi berperang di bulan ramadhan untuk pembebasan kota makkah, pada saat itu, beliau berjalan sampai di al-Kadid, lalu beliau berbuka dan menyuruh orang berbuka. Kedua, segolongan ulama’ diantaranya Imam asy-Syafi’i berpendapat bahwa puasa dalam perjalanan itu lebih afdhal dari pada berbuka, salah satu alasannya karena Rasullah pernah tetap berpuasa dan Abdullah bin Rawahah, walaupun yang lain berbuka. Dari perbedaan ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa berbuka puasa pada saat perjalanan di bulan Ramadhan itu sebuah pilihan bukan keharusan. Namun perlu digarisbawahi bahwa berpuasa bukan semata-mata menahan lapar dan haus melainkan sebuah keteguhan hati akan komitmen beribadah dan taat kepada Allah apapun kondisinya.

Kesimpulan
Bulan Ramadha adalah bulan yang spesial bagi kaum muslimin khususnya, didalamnya ada perintah diwajibkannya sebuah amalan ibadah yaitu puasa. Amalan yang kalau dijalankan dengan penuh ketaatan dan keikhlasan akan mewujudkan rasa takwa yang mendalam  kepada Allah. Namun kewajiban ini ada keringanan bagi orang yang sakit, dalam perjalanan atau menyusui untuk tidak berpuasa namun perlu di qadha’ dikemudian hari.




















Daftar Pustaka
Muhammad ali as-shabuni, safwatu tafasir, dar shobuni, (kairo:1997). jilid .1cet.1. hlm. 107. Maktaba shamela.

Shihab Quraish, Tafsir Al-Mishbah, jakarta:lentera hati. 2012. cet.5. hlm. 484.

Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishhari tafsir Ibnu Katsir. terj. Syihabuddin. (Jakarta: gema insani press, 1999).  jilid 1, cet, 1.hlm. 287.

Muhammad Mutawalli Sya’rawi, tafsir sya’rawi, terj, Tim Terj Safir al-Azhar. (Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi), Jild, 1.hlm. 581.

Jalaluddin Mahalli dan Jalaluddin as-Syuyuti. Tafsir Jalalin Hlm. 38. Jild 1.

Ibnu Katsiir, Lubaabut Tafsir min Ibnu Katsiir. Tej. Abdullah bin Muhammad. Pustaka Imam Syafi’i, 2007.  cet. 5. Hal. 348
Muhmmad Mahmud al-hijazi, Tafsir al-Wadih. Dar al-Jail al-Jadid Bairut. 1413 H.





[1]Shaleh. A Dahlan. H M D Dahlan, Asbabun Nuzul (Bandung:Dipenogoro,1995) hal. 54
[2]Muhammad bin Qasim, Fathul Qarib, (Beirut,Dar Ibnu Hazmi,2005) hal. 136
[3]Muhammad Asy-Syarbini, Al-Iqna’(Beirut, Dar Al-Fikr) hal. 234 jilid. 1
[4] Yasin T. Al-Jabouri dan Mirza javad, fast of the Month of Ramadhan Ter. Ali bin Yahya. (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002). Hal.
                 [5]Muhammad ali as-shabuni, safwatu tafasir, dar shobuni, (kairo:1997). jilid .1cet.1. hlm. 107. Maktaba shamela.
                 [6]Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah, jakarta:lentera hati. 2012. cet.5. hlm. 484.
                [7] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishhari tafsir Ibnu Katsir. terj. Syihabuddin. (Jakarta: gema insani press, 1999).  jilid 1, cet, 1.hlm. 287.
 [8] Muhammad Mutawalli Sya’rawi, tafsir sya’rawi, terj, Tim Terj Safir al-Azhar. (Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi), Jild, 1.hlm. 581.
 [9] Jalaluddin Mahalli dan Jalaluddin as-Syuyuti. Tafsir Jalalin Hlm. 38. Jild 1.
                 [10]Menurut Al-Hijazi Muhammad Mahmud dalam Tafsirnya Tafsir al-Wadih; ketika seseorang sakit atau dalam perjalanan maka boleh berbuka, karena kedua kondisi pada saat itu termasuk kondisi mashaqoh namun harus mengqadha’nya. Dan beliau memberi batasan safar seperti shalat qoshor yaitu 80 kilometer sedangkan untuk ibu hamil dan menyusui lalu takut akan kondisi kesehatan bayinya terganggu maka boleh berbuka puasa, tapi membayar fidyah dan mengqadha’nya. Tapi kalau yang dikhawatirkan itu dirinya dan anaknya maka boleh bagi keduanya mengqadha atau membayar fidyah.
 [11]Kata Iddah dapat diinterpretasikan menjalankan puasa yang ditinggalkan tanpa harus berturut-turut sehingga dapat dilakukan pada hari-hari dimana kita bisa menjalankannya. 
 [12]Muhammad Mutawalli Sya’rawi berpendapat; kewajiban puasa gugur baagi orang yang sakit-sakitan (terus-menerus) atau telah lanjut usia, karena termasuk orang yang tidak mampu, dan hanya membayar fidyah tanpa harus menggantinya.
[13] Abu Dawud, Sunan Abu dawud, (Beirut, Maktabah Al-Ashriyyah) Jild. 2, Hlm. 296.
 [14]Menurut Muhammad ali as-shabuni dalam tafsirnya; تَطَوَّعَ diartikan dengan “menambah ukuran yang telah disebutkan”. Sedangkan menurut ar-Razi dalam kitabnya mafatih al-Ghaib, ada tiga macam;(1)memberi makan satu orang miskin atau banyak, (2) memberi makan satu orang miskin namun dengan kadar yang lebih banyak dari pada yang diwajibkan, (3) as-zuhri berkata; yaitu orang yang berpuasa dan sekaligus membayar fidyah itu lebih bagus lagi.
 [15]Al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya; al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, bahwa ahli sejarah mengatakan Nabi Nuhlah yang pertama menjalani puasa Ramadhan setelah keluar dari kapal, ada juga perkataan mujahid yang beranggapan bahwa setiap umat telah diperintahkan menjalani puasa Ramadhan.
                 [16] Ulama’ berbeda pendapat tentang jumlah orang yang bisa menjadi saksi hilal, menurut imam malik harus dua orang saksi, sedangkan as-Syafi’i dan imam hanafi cukup satu saksi saja untuk melihat hilal.
[17] Ibnu Katsiir, Lubaabut Tafsir min Ibnu Katsiir. Tej. Abdullah bin Muhammad. Pustaka Imam Syafi’i, 2007.  cet. 5. Hal. 348.

Komentar

Postingan Populer