Tafsir Ayat-Ayat Puasa
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Puasa merupakan salah satu rukun islam yang wajib dikerjakan oleh
orang-orang islam. Oleh karenanya penting kiranya untuk dikaji lebih dalam,
bukan hanya sekedar menjalankannya saja, melainkan mengetahui keterangan lebih
lanjut, khususnya keterangan-keterangan tentang ayat-ayat yang berkaitan
tentang kewajiban berpuasa.
Mungkin saja sebagian dari kita sudah tahu perintah dari wajibnya
berpuasa, akan tetapi masih banyak dari kita yang masih belum mengetahui
keterangan langsung dari ayat-ayat oleh para mufasir. Yang notabennya ada
segi-segi tertentu yang kadangkala menimbulkan kontrofersi dikalangan mufasir.
Disinilah pentingnya pembahasan materi tafsir maudhu’i ibadah yang
berhubungan dengan puasa. Yang mana didalamnya akan mengkaji tafsir dari
ayat-ayat yang berkaitan langsung dengan puasa, didukung lagi adanya penyuguhan
beberapa pendapat para mufasir diketerang-keterangan tertentu.
Pembahasan
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183) أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ
مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ
لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (184) شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ
وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185)
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (yaitu) dalam beberapa hari tertentu,
maka barang siapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itupada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan
hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. “(Baberapa hari yang ditentukan
itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan)
al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu serta pembeda (antara yang haq dan yang batil). Karena itu, barang
siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah bagi berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi
kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu. Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-NYA yang diberikan kepada kamu supaya kamu bersyukur.” (Al-Baqarah: 183-185)
Mufradat
كُتِبَ :Diwajibkan تَتَّقُونَ :kalian
bertaqwa
يُطِيقُونَهُ :mereka
berat menjalankannya الْعُسْرَ :sukar
تَطَوَّعَ :melakukan
secara suka rela تَشْكُرُونَ :kalian
bersyukur
الْيُسْرَ :mudah
AsbabunNuzul
1. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal r.a, bahwa ia berkata
:Sesungguhnya Rasulullah Saw tiba di Madinah lalu berpuasa
‘Asyura dan tiga hari setiap bulan,
kemudian Allah Swt mewajibkan puasa Ramadhan, maka turunlah ayat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
2.
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ
مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا
فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa’id bin Jubair
bahwasanya ayat ini diturunkan berkenaan dengan dengan maula Qais bin Assa’ib
yang memaksakan dirinya melakukan puasa padahal dirinya sudah tua[1],
maka dengan turunnya ayat ini, ia membatalkan puasanya dan membayar fidyah
dengan memberi makan seorang miskin selama ia tidak berpuasa.
3. Diriwayatkan dari Salmah bin Akwa’ bahwa
ketika turun ayat dan wajib bagi mereka yang berat menjalankan puasa membayar
fidyah yaitu memberi makan seorang miskin, maka siapa yang suka diantara kita
berpuasa dan siapa yang suka berbuka dan membayar fidyah sebagai gantinya,
sehingga turunlah ayat berikutnya
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ
Pengertian Puasa
Shaum secara Bahasa mempunyai arti menahan sedangkan secara
terminologi yaitu menahan dari sesuatu yang membatalkan puasa dengan niat
khusus sepanjang siang hari yang merupakan waktu berpuasa, bagi seorang muslim
yang berakal, suci dari haid dan nifas[2]. Di
dalam kitab Al-Iqna’ ialah menahan dari segala yang membatalkan puasa dengan cara
yang khusus dan disertai niat[3].
Puasa bulan ramadhan adalah bentuk pilar islam yang diwajibkan bagi
ummat nabi Muhammad Saw. Dimana penamaannya, bulan Ramadhan ini dikarenakan
penyesuaiannya masa berlangsungnya bulan tersebut. Pada saat itu, bertepatan
dengan hari-hari terik musim panas, sesuai dengan akar katanya “Ramdh” yang
artinya “membakar” dikarenakan panasnya matahari yang luar biasa menyinari
pasir-pasir gurun.
Pada awal sejarah islam, orang-orang saleh menyebutkan bulan
ramadhan dengan sebutan Al-Midmar artinya bahwa pada bulan itu dapat
menguruskan jiwa dan tubuh manusia serta membantu manusia terbebas dari perihal
kejahatan dan dosa yang membebani jiwa dan tubuh manusia.[4]
Selain itu, manfaat dari adanya puasa lalu dikombinasikan dengan salat dan
berkhalwat maka dapat menjadi obat bagi penyakit-penyakit psikologi dan
spiritual yang diderita.
Munasabah
Ayat-ayat sebelumnya membahas tentang hukum qishash dan wasiat
sebagai kebaikan sosial dalam sebuah masyarakat dan keluarga, sedangkan ayat
selanjutnya yaitu ayat 183 menjelaskan tentang hukum puasa, dimana hukum puasa
ini dapat mensucikan jiwa dan pengekangan hawa nafsu sehingga dengan ini bisa
mengantarkan manusia menjadi orang yang bertaqwa. Dan dengan ketaqwaan ini akan
terhindar dari perbuatan keji seperti membunuh (yang akhirnya diqishash) dan
terhindar dari ketidakamanahan dalam wasiat.
Tafsir
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183)
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”
Allah Ta’ala berfirman pada ayat di atas guna menyuruh umat ini
berpuasa. Menurut Muhammad Ali As-shabuni dalam tafsirnya sofwatu tafasir:
secara bahasa puasa adalah menahan sesuatu. Sedangkan secara istilah ialah
menahan diri dari makan, minum, jima’ di siang hari dengan dilandasi niat.[5]
Ayat ini dimulai dengan suatu pengantar yang mengundang setiap
mukmin untuk sadar akan perlunya melaksanakan ajakan itu. Ia dimulai dengan
panggilan mesra, wahai orang-orang yaang beriman. Kemudian dilanjutkan dengan
menjelaskan kewajibaan melaksanakan amal
tanpa menunjukkan siapa yang mewajibkannya, Diwajibkan atas kamu.
Redaksi ini mengisyaratkan akan pentingnya perintah tersebut. Yang diwajibkan adalah ash-shiyam yakni
puasa (menahan diri). Dan menahan diri dibutuhkan oleh setiap orang baik yang
kaya atau miskin, muda atau tua, lelaki atau perempuan. Sebagaimana telah
diwajibkan pula atas umat-umat terdahulu sebelum kamu.[6]
Perintah ini tentunya berdampak positif bagi kita dalam menyucikan
badan dan mempersempit gerakan setan, sebagaimana hal ini dikemukakan dalam shahihain
(194),
«يا معشر الشباب من
استطاع منكم الباءة فليتزوج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء») رواه البخاري ومسلم(.
“Wahai para pemuda, barang siapa
diantara kamu sudah mampu memikul beban keluarga, maka kawinlah, dan barang
siapa yang belum mampu maka berpuasalah karena itu merupakan benteng baginya.” (HR
Bukhari Muslim). Pada permulaan islam, puasa dilakukan tiga hari pada setiap
bulan. Kemudian pelaksanaan itu dinasakh oleh puasa dibulan ramadhan. Dari
Muadz, Ibnu Mas’ud, dan yang lainnya dikatakan bahwa puasa ini senantiasa
disyariatkan sejak zaman nabi Nuh hingga Allah menasakh ketentuan itu dengan
puasa ramadhan.[7] Kewajiban
tersebut dimaksudkan agar kamu bertaqwa, yakni. Terhindar dari segala
sanksi dan dampak buruk, baik duniawi maupun ukhrawi. Muhmmad Ali as-Shabuni
berkata: supaya menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah dan menjauhi semua
yang dilarangnya.
أَيَّامًا
مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (184)
(yaitu) dalam beberapa hari
tertentu, maka barang siapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itupada hari-hari yang lain.
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa
yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik
baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Kata أَيَّامًا dapat dipahami dengan artian; hari-hari yang
menunjukkan waktu bersamaan sedangkan kata مَعْدُودَاتٍyang berarti terhitung jumlahnya bahwa
hari-hari puasa itu diketahuai[8].
Sedangkan menurut Muhammad Ali
As-shabuni, pada kata itu mengandung pengertian bulan Ramadhan[9].
Dengan ini, ketika seseorang tidak bisa berpuasa dibulan Ramadhan, entah karena
ada alasan sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka)[10]
maka iddahnya harus berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya pada hari-hari
yang lain[11],
ini merupakan bentuk kelonggaran dalam berpuasa yang mungkin saja kita ada
dalam posisi itu, ada juga orang yang merasa berat berpuasa dikarenakan sudah
lanjut usia lalu dia berbuka puasa, maka fidyahnya memberi makan orang-orang
miskin setiap harinya (setiap dia tidak berpuasa)[12].
Sesuai dengan hadits:
حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا ابْنُ
أَبِي عَدِيٍّ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عَزْرَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ
جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ
مِسْكِينٍ} [البقرة: 184]، قَالَ: «كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ،
وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ، وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا،
وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مسْكِينًا، وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ
إِذَا خَافَتَا»، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: «يَعْنِي عَلَى أَوْلَادِهِمَا أَفْطَرَتَا
وَأَطْعَمَتَا»[13]
Dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman
Allah (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi
makan seorang miskin,” beliau mengatakan, “Ayat ini
menunjukkan keringanan bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua renta dan
mereka merasa berat berpuasa, mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa, namun
mereka diharuskan untuk memberi makan setiap hari satu orang miskin sebagai
ganti tidak berpuasa. Hal ini juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui jika
keduanya khawatir –Abu Daud mengatakan: khawatir pada keselamatan anaknya-,
mereka dibolehkan tidak berpuasa, namun keduanya tetap memberi makan (kepada
orang miskin).
Sedangkan
bagi siapa saja melakukan kebajikan (تَطَوَّعَ)[14]
maka itu jauh lebih baik. Apalagi berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Menurut ar-Razi ayat ini ada dua
kategori; pertama, khithab ini berlaku atau ditujukan hanya untuk orang-orang
yang merasa berat menjalankannya saja (يُطِيقُونَهُ), kedua,
berpuasa itu lebih baik dilakukan oleh orang-orang yang disebutkan didepan
tadi, seperti orang sakit, musafir, dan orang yang berat menjalankan puasa. Dan
yang kedua ini yang lebih utama mengingat lafadnya bersifat umum. Ketiga,
menjadi ‘athaf dari ayat yang pertama, yaitu وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ.
Pandangan ini terlihat berbeda, namun pada intinya kalau kita tidak punya
halangan lebih baik berpuasa, apalagi di bulan suci Ramadhan, karena bulan ini
adalah bulan yang penuh keberkahan, ampunan dan dilipatkannya sebuah pahala
amal kebaikan. berikut penjelasan tafsir tentang ayat bulan Ramadhan.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ
فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى
سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا
يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ
عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185)
“(Baberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang haq
dan yang batil). Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang
siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah bagi
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi
kamu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah dan hendaklah
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-NYA yang diberikan kepada kamu supaya
kamu bersyukur.”
Pada ayat ini, Allah menyinggung turunnya Al-Qur’an yaitu turun
pada bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya terdapat banyak Rahmat serta
ampunan dari Allah. Pada bulan inilah awal turunnya Al-Qur’an yang
keberadaannya dapat menjadi hidayah (petunjuk) bagi manusia, sekaligus pembeda
antara yang hak dan yang batil. Oleh karenannya, barang siapa diantara kamu
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu,
Ayat di atas memberikan titik tekan bahwa adanya pernyataan yang
menyuruh umat Nabi Muhammad Saw. agar berpuasa di bulan Ramadhan[15]
disaat mengetahui adanya hilal, entah melihat sendiri atau dapat kabar dari
orang-orang yang terpercaya (bersumpahnya orang yang melihat[16]
atau kesepakatan ulama’), Tentunya tidak melakukan perjalanan jauh (bermukim di
tempat tinggalnya) dan tidak sakit (benar-benar sehat).[17]
Namun ada rukhsah bagi siapa saja
yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah bagi
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.
Disinah keindahan islam tidak menuntut untuk dilakukan suatu amalan puasa
(khususnya bulan ramadhan) bagi yang berhalangan. Islam cendrung mempermudah
bukan justru mempersusah atau memberatkan manusia untuk beribadah. Tapi bukan
berarti kita santai-santai yang dikit-dikit tidak berpuasa lantaran males atau
sakit yang dibuat-buat.
Dalam kontek saat kita dalam perjalanan sebenarnya ada perdebatan
tentang manakah yang lebih utama, apakah berbuka atau justru tetap berpuasa.
Pertama, lebih baik berbuka melihat dari peristiwa nabi Muhammad pada saat
pergi berperang di bulan ramadhan untuk pembebasan kota makkah, pada saat itu,
beliau berjalan sampai di al-Kadid, lalu beliau berbuka dan menyuruh orang
berbuka. Kedua, segolongan ulama’ diantaranya Imam asy-Syafi’i berpendapat
bahwa puasa dalam perjalanan itu lebih afdhal dari pada berbuka, salah
satu alasannya karena Rasullah pernah tetap berpuasa dan Abdullah bin Rawahah,
walaupun yang lain berbuka. Dari perbedaan ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa berbuka
puasa pada saat perjalanan di bulan Ramadhan itu sebuah pilihan bukan
keharusan. Namun perlu digarisbawahi bahwa berpuasa bukan semata-mata menahan
lapar dan haus melainkan sebuah keteguhan hati akan komitmen beribadah dan taat
kepada Allah apapun kondisinya.
Kesimpulan
Bulan Ramadha adalah bulan yang spesial bagi kaum muslimin
khususnya, didalamnya ada perintah diwajibkannya sebuah amalan ibadah yaitu
puasa. Amalan yang kalau dijalankan dengan penuh ketaatan dan keikhlasan akan
mewujudkan rasa takwa yang mendalam
kepada Allah. Namun kewajiban ini ada keringanan bagi orang yang sakit,
dalam perjalanan atau menyusui untuk tidak berpuasa namun perlu di qadha’
dikemudian hari.
Daftar Pustaka
Muhammad ali as-shabuni, safwatu tafasir, dar shobuni,
(kairo:1997). jilid .1cet.1. hlm. 107. Maktaba shamela.
Shihab
Quraish, Tafsir Al-Mishbah, jakarta:lentera hati. 2012. cet.5. hlm. 484.
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li
Ikhtishhari tafsir Ibnu Katsir. terj. Syihabuddin. (Jakarta: gema insani
press, 1999). jilid 1, cet, 1.hlm. 287.
Muhammad Mutawalli Sya’rawi, tafsir sya’rawi, terj, Tim Terj
Safir al-Azhar. (Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi), Jild, 1.hlm. 581.
Jalaluddin
Mahalli dan Jalaluddin as-Syuyuti. Tafsir Jalalin Hlm. 38. Jild 1.
Ibnu Katsiir, Lubaabut Tafsir min Ibnu Katsiir. Tej.
Abdullah bin Muhammad. Pustaka Imam Syafi’i, 2007. cet. 5. Hal. 348
Muhmmad Mahmud al-hijazi, Tafsir al-Wadih. Dar al-Jail al-Jadid Bairut. 1413 H.
[1]Shaleh. A Dahlan. H M D Dahlan, Asbabun Nuzul (Bandung:Dipenogoro,1995)
hal. 54
[2]Muhammad bin Qasim, Fathul Qarib, (Beirut,Dar Ibnu Hazmi,2005) hal. 136
[3]Muhammad Asy-Syarbini, Al-Iqna’(Beirut, Dar Al-Fikr) hal. 234 jilid. 1
[4] Yasin T. Al-Jabouri dan Mirza javad, fast of the Month of Ramadhan
Ter. Ali bin Yahya. (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002). Hal.
[10]Menurut
Al-Hijazi Muhammad Mahmud dalam Tafsirnya Tafsir al-Wadih; ketika
seseorang sakit atau dalam perjalanan maka boleh berbuka, karena kedua kondisi
pada saat itu termasuk kondisi mashaqoh namun harus mengqadha’nya. Dan
beliau memberi batasan safar seperti shalat qoshor yaitu 80 kilometer
sedangkan untuk ibu hamil dan menyusui lalu takut akan kondisi kesehatan
bayinya terganggu maka boleh berbuka puasa, tapi membayar fidyah dan
mengqadha’nya. Tapi kalau yang dikhawatirkan itu dirinya dan anaknya maka boleh
bagi keduanya mengqadha atau membayar fidyah.
[13] Abu Dawud, Sunan Abu dawud, (Beirut, Maktabah Al-Ashriyyah)
Jild. 2, Hlm. 296.
[14]Menurut Muhammad ali as-shabuni dalam tafsirnya; تَطَوَّعَ diartikan dengan “menambah ukuran yang telah disebutkan”.
Sedangkan menurut ar-Razi dalam kitabnya mafatih al-Ghaib, ada tiga
macam;(1)memberi makan satu orang miskin atau banyak, (2) memberi makan satu
orang miskin namun dengan kadar yang lebih banyak dari pada yang diwajibkan,
(3) as-zuhri berkata; yaitu orang yang berpuasa dan sekaligus membayar fidyah
itu lebih bagus lagi.
[17] Ibnu Katsiir, Lubaabut Tafsir min Ibnu Katsiir. Tej. Abdullah
bin Muhammad. Pustaka Imam Syafi’i, 2007.
cet. 5. Hal. 348.
Komentar
Posting Komentar