Mengenal kitab Lathaif Al-Isyarat


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran merupakan mu’jizat yang diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada  nabi Muhammad sebagai pedoman bagi manusia, yang di dalamnya berisi berbagai macam informasi hukum, cerita, dll. Dalam menggali informasinya para ulama berbeda-beda dengan cara yang digunakannya.
Diantara penggali informasi makna al-Quran itu salah satunya ialah al-Qusyairi, salah satu ulama yang terkenal dengan tasawufnya terutama dengan kitabnya yang berjudul Risalah al-Qusyairiyyah. al-Qusyairi sendiri menulis kitab tafsir yang diberi dengan nama Lathaif al-Isyarat atau yang terkenal dengan nama Tafsir Qusyairi, kitab tafsir ini untuk menggali makna al-Quran dengan melalui dengan gaya penafsiran Isyari[1]
B. Rumusan Masalah
1. Siapa muallif kitab Lathoif al-Isyarat ?
2. Bagaimana metode penulisan kitab Tafsir Lathaif al-Isyarat ?
C. Tujuan
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengenalan kitab Tafsir, dan juga untuk menambah wawasan pengetahuan mahasiswa jurusan ilmu tafsir untuk mengenal salah satu kitab tafsir yaitu Tafsir Lathaif al-Isyarat.










BAB II
PEMBAHASAN
1. Biografi Abu al-Qasim al-Qusyairi
Penulis Kitab Tafsir Lathaif al-Isyarat mempunyai nama lengkap Abu al-Qasim ‘Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah al-Naisaburi al-Qusyairi al-Shufi. Dijuluki sebagai al-Naisaburi karena dinisbatkan pada tempat dimana beliau lahir yaitu di sebuah desa kecil di daerah Naisabur, Khurasan. Sedangkan gelar al-Qusyairi beliau dapatkan karena beliau merupakan salah satu keturunan Bani Qusyair bin Ka’ab. Dan diberi gelar al-Shufi karena kealimannya dalam ilmu tasawuf. Pada masanya beliau disebut sebagai Maha Guru yang  paling disegani di Khurasan, karena kezuhudan dan alimnya dalam agama.
 Imam al-Qusyairi dilahirkan di Naisabur pada tahun 376 H, bertepatan dengan tahun 986 M. Namun dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyah disebutkan bahwa beliau lahir pada 375 H.[2] Dan beliau wafat di Naisabur pada tahun 465 H, bertepatan pada tahun 1072 M. Beliau hidup selama kurang lebih 90 Tahun.[3]  Ketika beliau masih kecil Ayahnya meninggal dunia, maka dari itu sebagai ganti dari sang Ayah, keluarga Ayahnya berupaya keras untuk membekali Imam al-Qusyairi dengan bermacam-macam ilmu.[4] Sehingga dengan itu beliau  menguasai dengan baik berbagai macam ilmu seperti: Fikih, Ushul Fikih, Tafsir, Hadis, Sastra, Syair, Bahasa Arab, dan lain sebagainya.[5]
Abu al-Qasim al-Qusyairi lebih cenderung terhadap ilmu tasawuf, beliau memperoleh pendidikan tasawuf dari Abu Ali al-Hasan al-Daqaq. Oleh karena itu beliau diberi gelar al-Shufi. Abu Ali al-Hasan al-Daqaq mengenalkan kepada beliau ajaran para sufi ternama yaitu Abu Bakar Muhammad bin Abi Bakar al-Thausi, Abu Ishaq al-Isfirayayni, dan Ibnu Furak. Setelah Abu Ali al-Hasan al-Daqaq wafat pada tahun 448 H, beliau berguru kepada Abdur Rahman al-Sulami yang juga merupakan  seorang Ulama’ sufi besar. Dalam bidang fikih beliau dikenal sebagai ahli fikih mazhab Syafi’i, dan merupakan  ahli ushul mazhab Asy’ari.
Imam al-Qusyairi mempunyai beberapa karya, diantaranya:
1.      Al-Tafsir al-kabir atau al-Taysir fi al-Tafsir
2.      Lathaif al-Isyarat
3.      Al-Risalah al-Qusyairiyah
4.      Adab al-Shufiyyah
5.      Ahkam al-Sima’
6.      Hayat al-Arwah
7.      Tartib al-Salik, dan lain sebaginya.[6]
2. Mengenal Tafsir Lathaif al-Isyarat
a. Gambaran umum
Kitab ini lengkap 30 juz, dalam 3 jilid. Dicetak pertama kali oleh Hai’ah al-Mishriyah, Kairo. Kemudian dicetak untuk kedua kalinya pada tahun 1390 H oleh penerbit Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, Kairo, yang ditahqiq oleh Dr. Ibrahim Basyuni.
Sebelum menyusun kitab Lathaiful Isyarat, al-Qusyairi sudah duluan menyusun kitab Tafsir dengan manhaj yang sama dengan yang digunakan para mufasir, kitab Tafsir itu yang beliau namai dengan al-Taysir fi al-Tafsir. Selanjutnya barulah beliau menyusun kitab Tafsir Lathaif al-Isyarat yang disusun dengan menggunakan pendekatan Tasawuf(Tafsir Isyari), namun manhaj yang al-Qusyairi gunakan dalam menyusun kitab Tafsir isyari kepunyaan al-Qusyairi ini berbeda dengan Tafsir-tafsir Sufi lainnya. Al-Quyairi mencoba memadukan antara potensi kalbu dan akal, sehingga kitabnya ini dapat dipahami dengan mudah karena menggunakan redaksi-redaksi yang sederhana, jelas dan sangat ringkas[7]. Beliau berpedoman pada pebdapat dan pandangan para sufi, tanpa menunjukkan nama dan kitrabnya. Biasanya beliau menggunakan redaksi يقال.
Kitab tafsirnya ini secara sengaja beliau namai dengan Lathaif al-Isyarat, karena kata isyarat biasa digunakan sebagai Bahasa bagi pecinta kepada yang dicintai. Bahkan kata isyarat akan membawa kepada bentuk penyanjungan kepada yang dituju, namun tidak dengan Bahasa verbal. Sebab, Bahasa biasa tidak bisa mewakili rasa cinta yang sangat mendalam dari seorang pecinta kepada yang dicintai. Demikian ini, karena diantara friman-firman Allah banyak yang mengandung rahasia, yang hanya bisa diungkap melalui pendekatan kaum sufi.
Yang pasti, kitab tafsir ini tidak seperti kitab-kitab tafsir yang lain, yang hanya berpedoman pada kekuatan Bahasa dan berbagai macam ilmu yang memang dibutuhkan oleh seorang mufasir. Melalui kitab tafsir ini, al-Qusyairi berusaha menyingkap rahasia dibalik kata-kata yang menyentuh perasaan.[8]
b. Karakteristik kitab Lathaif Al-Aisyarat
Dalam kitab tafsirnya ini imam Qusyairi selalu memulai tafsirnya dengan menggunakan basmalah kemudian dilanjutkan pada penjelasan maknanya. Dalam menjelaskan makna-makna ayat-ayat Al-Quran dalam penafsirannya beliau melakukan pendekatan dengan berpedoman pada kaidah-kaidah kebahasaan, sastra, dan syair-syair arab, akan tetapi beliau tetap pada kebiasaannya beliau melakukan pedekatan tasawwuf yaitu tafsir bayani isyarat.
Sama seperti kebanyakan mufasir pada umumnya yaitu menukil riwayat pada penafsirannya, imam Qusyairi pun juga sering mencantumkan beberapa riwayat hadits, namum kurang selektif dalam menetapkan statusnya yaitu shahih atau dhaifnya. Dan juga beliau tidak mencantumkan perawinya dari segi penafsiran isyari atau qauli. Beliau sering memakai redaksi قيل atau يقال . Akan tetapi penafsiran yang bersumber dari ulama sufi seringkali dikutip dengan mencantumkan namanya.
Dalam penafsirannya beliau hampir semua ayat dijelaskan oleh imam Qusyairi dari sisi Isyarinya, yaitu pemahaman hikmah dengan cara halus maksudnya adalah pemahaman yang berdasarkan hakikat. Akan tetapi masih tetap tidak keluar dari pada syariat[9]. Karena hakikat yang melenceng dari syariat itu tidaklah benar sedangkan syariat tanpa diiringi dengan hakikat maka akan sia-sia.  الإشارة منه redaksi ini sering dipakai oleh beliau ketika menuturkan sisi isyarinya.
Penafsiran beliau dalam kitab tafsirnya juga menggunakan kaidah-kaidah bahasa dan sastra dalam ayat yang tidak bisa dipahami kecuali dengan menggunakan kaidah tersebut, beliau juaga menggunakan manhaj khusus dalam penafsiran ayat-ayat yang berkenaan dengan ilmu kalam[10]. Ayat-ayat hukum tidak dibahas secara khusus. Beliau hanya menyebutkan pandangan para ahli fikih. Walaupun demikian beliau tidak keluar dari penafsiran dengan pendekatan sufi.
Kisah-kisah israiliyat sering kali disajikan oleh beliau dalam kitab tafsirnya, terlebih lagi dalam kisah-kisah nabi-nabi dan ummat terdahulu, yang mana hal ini sering bertentangan dengan akal sehat dan riwayat yang shahih. Beliau termasuk berlebihan dalam penukilannya[11].
Gaya yang diterapkan oleh beliau dalam penafsirannya berbeda dengan yang lain. Penafsiran beliau luar biasa dari kebiasaan. Penafsir-penafsir yang lain selalu berpedoman pada  pada perangkat atau ilmu-ilmu tentang tafsir, seperti ilmu bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, dan ilmu perangkat tafsir lainnya. Akan tetapi imam Qusyairi dalam tafsir Lathaif Al-Isyarat menafsirkan dengan berdasarkan pengaruh dari perasaan seorang sufi. Yaitu pemahaman yang didapat setelah melakukan mujahadah dengan berpegang teguh pada karunia Allah Swt[12].
Tafsir ini banyak dianggap sebagai peyempurna bagi kitab-kitab tafsir yang lain. Karena memiliki corak yang berberda dengan kitab-kitab tafsir yang lain, sehingga kitab tafsir ini dengan kitab-kitab tafsir yang lain dapat saling melengkapi dan saling bertopangan.
c. Contoh Penafsiran
Penafsiran terhadap huruf-huruf Muqaththa’ah
Surat al-Baqarah ayat 1.
الم
هذه الحروف المقطعة فى أوائل السورة من المتشابه الذي لا يعلم تأويله إلا الله- عند قوم، ويقولون لكل كتاب سر، وسر الله فى القرآن هذه الحروف المقطعة. وعند قوم إنها مفاتح أسمائه، فالألف من اسم «الله» ، واللام يدل على اسمه «اللطيف» ، والميم يدل على اسمه «المجيد» و «الملك[13]» .
Ini merupakan huruf Muqattha’ah yang berada pada permulaan surat dan termasuk sesuatu mutasyabihat yang maksudnya tidak dapat diketahui kecuali Allah. Mereka para ahli hakekat berkata bahwa pada setiap kitab itu terdapat rahasia dan rahasia Allah di dalam al-Quran adalah huruf Muqaththa’ah ini. Dan menurut para ahli hakekat berpendapat bahwa huruf Muqaththa’ah merupakan pembuka dari nama-nama-Nya, adapun huruf “alif” berarti “Allah”, huruf “lam” menunjukkan pada nama-Nya “Lathif” sedangkan huruf “Mim” menunjukkan pada nama-Nya “majid” dan “mulk”.

Persoalan Akidah
قوله جلّ ذكره : { ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيءٍ عَلِيمٌ } .
فالأكوان بقدرته استوت ، لا أن الحق سبحانه بذاته – على مخلوق – استوى ، وأَنَّى بذلك! والأحدية والصمدية حقه وما توهموه من جواز التخصيص بمكان فمحال ما توهموه ، إذ المكان به استوى ، لا الحق سبحانه على مكانٍ بذاته استوى
Dan adapun firman Allah swt yang artinya {“dan dia berkehendak/bersemayam menuju langit. Dan dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”} maksudnya adalah seluruh alam/makhluk ciptaannya itu yang hakikatnya bersemayam (menempati sebuah ruang) dengan qudrat-Nya dan bukan sebaliknya, Dia yang bersemayam pada makhluk ciptaa-Nya (‘arsy) karena itu tidak mungkin terjadi. karena Dia adalah dzat yang Ahad dan Shamad (tempat bergantung segala sesuatu), maka apa yang dipersepsikan oleh sebagian orang bahwa mungkin boleh bagi-Nya untuk bersemayam pada suatu tempat adalah suatu yang sangat mustahil, karena tempatlah yang bersemayam/butuh pada-Nya, bukan Dia yang membutuhkan tempat itu.

             Dari keterangan yang diberikan oleh al-Qusyairi diatas dapat memberi gambaran terhadap kita mengenai faham yang dianut oleh al-Qusyairi adalah ahlu al-sunnah wa al-Jama’ah yang menolak faham mujassimah, al-Qusyairi menolak pemahaman bahwa Allah swt itu bersemayam pada sebuah ciptaan (‘Arsy), melainkan ciptaan tersebut yang bersemayam/butuh pada-Nya. 
Persoalan Fikih
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيامُ كَما كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
الصوم على ضربين: صوم ظاهر وهو الإمساك عن المفطرات مصحوبا بالنية، وصوم باطن وهو صون القلب عن الآفات، ثم صون الروح عن المساكنات، ثم صون السّرّ عن الملاحظات.
ويقال صوم العابدين شرطه- حتى يكمل- صون اللسان عن الغيبة، وصون الطرف عن النظر بالريبة كما فى الخبر: (من صام فليصم سمعه وبصره ... ) ... الخبر «3» ، وأما صوم العارفين فهو حفظ السر عن شهود كل غيره.
Sedangkal yang penulis pahami dari penafsiran al-Qusyairi terhadap ayat tentang kewajiban puasa Ramadhan di atas adalah bahwa beliau menjelaskan bahwasanya puasa itu tidak cukup hanya dikerjakan secara dzahir saja, dalam artian tidak cukup hanya dengan menahan lapar dan dahaga saja, maka dari itu beliau membagi puasa secara pengamalannya menjadi dua: yang pertama adalah puasa secara dzahir, yaitu menahan dari sesuatu yang dapat membatalkan puasa seperti makan, minum, berhubungan suami istri, dan lain-lain yang disertai dengan niat. Yang kedua adalah puasa secara batin, yaitu menjaga diri dari penyakit hati seperti iri, dengki, sombong, ujub, dan lain-lain, serta merahasiakan aib orang lain dalam artian tidak menggunjing orang lain.
Persoalan Sosial
وَالَّذِينَ اسْتَجابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْناهُمْ يُنْفِقُونَ
«اسْتَجابُوا لِرَبِّهِمْ» : فيما دعاهم إليه وما أمرهم به من فنون الطاعات فهؤلاء هم الذين لهم حسن الثواب وحميد المآب
والمستجيب لربّه هو الذي لا يبقى له نفس إلا على موافقة رضاه «1» ، ولا تبقى منه لنفسه بقية
«وَأَمْرُهُمْ شُورى بَيْنَهُمْ» : لا يستبدّ أحدهم برأيه لأنه يتّهم أمره ورأيه أبدا «2»
ثم إذا أراد القطع بشىء يتوكل على الله
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kitab Lathaif al-Isyarat ini disusun oleh seorang ulama sufi bernama Abu al-Qasim al-Qusyairi, yang mana dalam penyusunannya beliau menggunakan pendekatan sufi(Tafsir Isyari), namun dalam karyanya ini berbeda dengan tafsir sufi lainnya, kitab ini mencoba memadukan antara kalbu dan akal. Penafsiran beliau dalam kitab tafsirnya juga menggunakan kaidah-kaidah bahasa dan sastra dalam ayat yang tidak bisa dipahami kecuali dengan menggunakan kaidah tersebut, beliau juaga menggunakan manhaj khusus dalam penafsiran ayat-ayat yang berkenaan dengan ilmu kalam.
Gaya yang diterapkan oleh beliau dalam penafsirannya berbeda dengan yang lain. Penafsiran beliau luar biasa dari kebiasaan. Penafsir-penafsir yang lain selalu berpedoman pada  pada perangkat atau ilmu-ilmu tentang tafsir, seperti ilmu bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, dan ilmu perangkat tafsir lainnya. Akan tetapi imam Qusyairi dalam tafsir Lathaif al-Isyarat menafsirkan dengan berdasarkan pengaruh dari perasaan seorang sufi.

DAFTAR PUSTAKA
Hakim Husnul, Ahmad. Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir al-Quran. Depok.
Lingkar Studi al-Quran. 2013
Al-Qusyairi. Lathaif al-Isyarat. Kairo. Darul Kutub Al-Arabi
Halim Mahmud, Abd. Metodologi Tafsir. Jakarta. PT Raja Grafindo persada.
2006
Al-Qasim al-Qusyairi, Abu. Al-Risalah al-Qusyairiyah. Kairo. Maktabah
Taufiqiyah
Ayazi, Muhammad Ali. Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Teheran. Al-
Tsaqafah al-Irsyad al-Islami. 1212



[1] Tafsir tentang isyarat yang tersimpan dari sebuah teks dan tanpa dijelaskan oleh redaksi
[2] Abu al-Qasim al-Qusyairi, Al-Risalah al-Qusyairiyah, (Kairo: Maktabah Taufiqiyah), hlm. 16
[3] Abu al-Qasim al-Qusyairi, hlm. 17
[4] A. Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, (Depok: Lingkar Studi al-Qur’an . 2013), hlm 29
                [5] Abu al-Qasim al-Qusyairi, hlm. 16
[6] A. Husnul Hakim, hlm. 30.
[8] A Husnul Hakim, hlm. 33
[9] Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir (Jakarta, PT Raja Grafindo persada, 2006), hlm. 184
[10] A Husnul Hakim, hlm. 33
[11] A Husnul Hakim, hlm. 34
[12] Abd Halim Mahmud, hlm. 184
[13] Al-Qusyairi, Lathaif al-Isyarat, (Kairo: Darul kitab al-Arabi), jil. 1, hlm. 65

Komentar

Postingan Populer